Menuju konten utama

Respon JAI soal Kewenangan Baru Polri dalam RUU Cilaka

Dalam pasal 82 RUU Cilaka, Kepolisian punya kewenangan baru salah satunya mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Respon JAI soal Kewenangan Baru Polri dalam RUU Cilaka
Kapolri Jenderal Pol Idham Azis (kanan) didampingi Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono (kiri) memberikan paparan saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/1/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pd.

tirto.id - Kepolisian akan mendapat kewenangan baru dalam RUU Cilaka, salah satunya mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 82 RUU Cilaka yang mengubah pasal 15 Undang-Undang Kepolisian.

Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana merespons ihwal kewenangan kepolisian mendeteksi ‘penyakit sosial masyarakat’, terutama ke aliran tertentu. Dalam dua periode pemerintahan Presiden Jokowi, ia bilang belum ada penyelesaian konkret permasalahan pihaknya. Ia mencontohkan 15 masjid yang tidak bisa digunakan untuk beribadah karena tekanan pihak tertentu dan peraturan tingkat lokal.

“Secara umum permasalahan diangkat dari surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang Ahmadiyah, kemudian turunannya adalah peraturan daerah dan SKB,” ucap Yendra dalam diskusi daring ‘Penambahan Kewenangan Kepolisian dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja’, Minggu (12/7/2020).

Pasal-pasal tentang penyakit sosial masyarakat sering diberikan oleh kepolisian terhadap kelompok marjinal dan itu dianggap berpotensi konflik. Semisal, sebuah masjid di Depok, Jawa Barat, yang telah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) dan telah direkomendasikan Komnas HAM-Komnas Perempuan-Ombudsman karena tak ada sengketa hukum.

“Saat masjid itu dipakai, kemudian dibuat laporan oleh Satpol PP Depok, sehingga polisi melakukan penyidikan. Masjid dipasang police line oleh polisi” ucap Yendra.

Dia berpendapat kondisi peraturan yang ada saat ini menyesakkan pihaknya. "Karena dikepung oleh regulasi multi-interpretasi.”

Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri itu dikeluarkan 12 tahun lalu. Penetapan itu tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat.

Berdasarkan catatan Setara Institute, sejak tahun 2012-2015, JAI menjadi korban pelanggaran hak-hak konstitusional dalam isu keagamaan atau keyakinan dalam 164 peristiwa. Jumlah ini menunjukkan betapa intens komunitas muslim Ahmadiyah menjadi sasaran intoleransi dan persekusi.

Laporan tahunan Komnas HAM menunjukkan, dari Januari-Desember 2016, ada 22 dari 97 pengaduan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap JAI. Jumlah itu naik dari 17 pengaduan pada 2015. Data ini menunjukkan persekusi terhadap muslim Ahmadiyah masih jadi masalah serius di bawah pemerintahan Jokowi.

Baca juga artikel terkait RUU CILAKA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Reja Hidayat